inna

inna
japan

ukhtii

ukhtii

saiia L agii

saiia L agii

foto-Foto

clazzzzzzzzz 70-an

clazzzzzzzzz 70-an
saiia

memoriezzzzzzzz IPA

memoriezzzzzzzz IPA
Friends

my Clazzzzzzzzzz

my Clazzzzzzzzzz
zzzzzzz

saiia n Friends

saiia n Friends
in Bali

Saiia

Saiia
me

SMaSK@

SMaSK@
kEluarga IPA
Powered By Blogger

SmAsk@

SmAsk@
XII IPA 1

Foto-Foto

Foto-Foto
saiia

Kamis, 27 Januari 2011

"Kita Salah Memahami Keinginan Ibu yang Sederhana"

Karena Kita Salah Memahami Keinginan Ibu yang Sederhana



Ibu adalah manusia yang paling spesial dalam hidup kita. Pengorbanannya, cintanya, kasih sayangnya, dan ketulusannya. Semua spesial. Dan rasanya, tak ada satupun paham paham di dunia ini yang tak mengakui itu. Meskipun secara individu, tentu ada sebagian orang yang tak merasakan itu dalam hidupnya. Karena ia spesial, maka kita selalu dituntut untuk memelihara hubungan baik dengannya; berbakti, menjaga perasaan, mendoakan, membahagiakan dan meluluskan keinginan-keinginannya. Tapi karena kita dan ibu telah ditakdirkan lahir di dua zaman yang berbeda, maka seringkali ada hal-hal yang melahirkan ketidaksepahaman pada keadaan-keadaan tertentu. Karena kita dan orang tua ditakdirkan lahir di generasi yang berbeda, menghuni zaman yang tak serupa, mengalami perubahan-perubahan budaya yang tak sama, terkadang memunculkan perbedaan-perbedaan yang membuat komunikasi orang tua dengan anak tak sepaham, kehendak yang tak seiring, dan pikiran yang tak sejalan.



Ibu yang memiliki pandangan yang mendalam mengenai hidup dan perasaan, terkadang tidak dapat dipahami oleh kita sebagai anaknya. Keinginan-keinginannya yang sederhana terkadang seringkali ditafsirkan rumit oleh kita, sehingga melahirkan praduga-praduga yang tak berdasar. Dan akhirnya menyimpan kecewa di hatinya.





Sekadar Ingin Menunjukkan Cinta, Kasih Sayang dan Perhatian

Ibu adalah gudang cinta dan kasih sayang untuk anak-anaknya. Cintanya tak pernah berkurang. Kasih sayangnya tak pernah menipis. Cinta kasihnya tak pernah luntur meskipun kita telah jauh dari sisinya. Cinta kasihnya tak pernah menyusut meski kita kadang tak pandai menyambutnya. Dia selalu memberikannya kepada kita kapan saja, dengan cara apa saja. Tak ada bedanya, antara cintanya saat kita masih kanak-kanak dan setelah kita dewasa, atau setelah kita sudah merasa mampu untuk melakukan segalanya sendiri.



Bagi ibu, anak adalah tempat mencurahkan cinta dan kasih sayang. Walau kadang kita tak memahami sebagian cara ibu dalam mencintai kita, sehingga melahirkan praduga yang salah dan tuduhan yang bisa melukai hatinya.



Suatu hari, seorang anak hendak berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya. Kedua orang tuanya, karena merasa akan berpisah dengan anak yang dicintainya dalam jarak yang jauh dan dalam waktu lama, tentu ingin meluapkan perhatian dan kasih sayangnya dengan mengantar si anak ke bandara. Orang tua manapun, terutama ibu, memang selalu ingin menyertai anaknya pada saat-saat penting seperti itu, entah untuk sekadar memberi semangat, mendoakan, atau melepas rasa haru pada darah dagingnya.



Tapi si anak yang merasa sudah besar dan dewasa, tanpa rasa bersalah menolak niat baik orang tuanya. Dia justru menganggap keinginan baik mereka, seperti perlakuan orang dewasa kepada anak kecil yang harus selalu ditemani kemana pun akan pergi. Si anak kemudian meminta orang tuanya tetap di rumah dan membiarkannya berangkat sendiri. Mungkin saja si anak itu punya maksud baik untuk tidak merepotkan orang tuanya, namun ia gagal memahami perasaan hati seorang ibu. Ia tidak mengerti gemuruh hati orang yang begitu berat melepas anaknya untuk pergi jauh. Sehingga yang terjadi kemudian, keinginan sederhana itu tak terwujud dan bahkan menyisakan luka di hati.



Anak yang dibesarkannya dengan penuh cinta dan pengorbanan, yang disekolahkan hingga pandai, ternyata pikirannya tak mampu menjangkau dalamnya cinta dan kasih sayang orang tuanya. Dia hanya mampu menafsir keinginan orang tuanya sebatas itu; menganggapnya masih kanak-kanak. Padahal persoalannya tidak sesederhana itu. Di sini, jelas tersimpan sebuah keinginan yang tak dipahami oleh si anak. Sebab kita pasti tahu, tentu kedua orang tua anak itu tidak hendak memperlakukannya seperti kanak-kanak. Tapi sebagai orang tua, mereka memiliki keinginan untuk tetap memberikan cintanya dalam waktu sekejap itu, sebelum berpisah dengan anaknya.





Sekadar Ingin Membuat Kita Senang

Barangkali, tidak ada orang yang paling tahu kesukaan kita selain ibu. Dari kecil kita diasuh, hingga dewasa kita diasah, ibu sangat mengerti kita, mengerti kesenangan kita dan hal-hal yang membuat kita senang. Dan salah satu keunikan ibu, ia tetap selalu ingin menghadirkan kesenangan-kesenangan itu untuk kita, meski kita sudah dewasa merasa sudah tidak dimasa itu lagi, atau merasa sudah mampu menghadirkannya sendiri. Sebab bagi seorang ibu, memberi kesenangan kepada anaknya adalah kesenangan tersendiri bagi dirinya. Betapa mulianya ia, yang tak pernah bosan dan lupa dengan kesenangan-kesenangan masa lalu kita, sejak kita masih kanak-kanak.



Hingga kapan pun, ibu selalu ingin membuat kita senang. Suatu hari kita datang menjenguknya, mungkin ia selalu siap menyajikan untuk kita menu-menu makanan kesukaan kita. Atau bahkan selalu bertanya, “Mau makan apa, nak?”, “Mau dimasakin apa, nak?” Semua siap ia sediakan tanpa terlihat raut letih di wajahnya demi membuat kita senang. Pun ketika kita hendak pergi, ibu selalu membekali kita dengan oleh-oleh dan cemilan-cemilán kegemaran kita, meski terkadang kita suka mencari-cari alasan untuk menolaknya karena merasa berat membawanya.



Keinginan ibu untuk membuat kita senang, tentulah sederhana. Dan cara ia melakukan itu, pun juga sederhana. Tapi seringkali kita tidak bisa memahami itu. Seorang kakak, menceritakan dialognya lewat telepon seluler dengan adiknya yang tinggal bersama ibunya nun jauh di kampung sana.



Sang kakak yang jauh diperantauan meminta adiknya untuk mengirimkannya sepaket jamu dari kampung halamannya. Tapi ketika barang itu hendak dikirim, adiknya menelpon meminta tambahan biaya, sebab selain jamu tersebut si ibu juga menyertakan makanan ningan berupa intip (kerak nasi yang dikeringkan), penganan kesukaan sang kakak sejak kecil.



Karena merasa tidak memesan intip, si kakak pun meminta adiknya untuk membawa kembali saja makanan itu. Namun Si adik yang berkali-kali didesak tetap menolak sambil mengatakan, “Lebih baik saya berikan orang di jalan daripada ibu kecewa. Tiap hari kalau masak ditunggui supaya bisa jadi intip. Ibu juga mencari sinar matahari di banyak tempat agar intip cepat kering, bisa digoreng dan segera dikirimkan. Kamu kok malah begitu.”



Dari seberang sana, si kakak merasakan dadanya teriris mendengar kata-kata adiknya. Tenggorokannya terasa sesak saat itu juga. Susah ia menelan ludahnya. Pikirannya melayang, membayangkan ibunya yang begitu tulus berbuat sesuatu untuk membuatnya senang. Sebuah keinginan yang sederhana, tapi nyaris saja ia menggagalkan keinginan itu, karena kegagalannya membaca keinginan tersebut.





Sekadar Ingin Melepas Rindu dan Mengobati Rasa Sepi

Tidak jarang, karena desakan keadaan, atau untuk sebuah keperluan kita harus berpisah sementara dengan kedua orang tua. Meninggalkan ibu untuk waktu yang cukup lama. Jauh dan kehidupannya untuk beberapa waktu. Dan perpisahan itu, tentu saja akan melahirkan kerinduan. Terlebih bagi seorang ibu yang terpaut jarak dengan anak belahan jiwanya; hari-harinya akan menjadi penantian panjang dan rasa sepi yang sulit terobati.



Tapi sebagai anak seringkali kita tidak memahami ini. Bahwa ketika kita jauh dari ibu, terutama saat ia telah lanjut usia atau ketika sedang bermasalah dengan kesehatannya, selalu memendam rindu yang sangat kuat untuk berjumpa atau untuk disapa. Maka ketika ia selalu meminta kita menelponnya, atau mengiriminya surat, atau bahkan selalu mengunjunginya, janganlah pernah beranggapan bahwa ia sedang bermanja atau ingin merusak jadwal kerja kita. Tapi pahamilah bahwa dia hanya sekadar ingin mendengar suara kita, atau sekadar ingin menatap wajah kita, agar rasa rindu itu dan rasa sepi yang Menderanya bisa terobati.



Bahkan seharusnya, andai kita menyadari tentu kita tidak perlu menunggunya meminta kita melakukan itu, sebab boleh jadi keinginannyá yang sederhana itu berat ia ungkapkan karena khawatir mengganggu kita dan kesibukan-kesibukan kita.



Seorang anak bercerita, “Ayahku meninggal dunia sewaktu aku masih kecil, lalu ibukulah yang merawatku sendiri. Dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga agar bisa menghidupiku. Aku adalah putranya yang semata wayang. Dia memasukkanku ke sekolah dan aku belajar hingga bisa menamatkan pendidikan di perguruan tinggi. Aku sangat baik terhadapnya. Tak lama kemudian, aku dikirim ke luar negeri. Dia melepas kepergianku dengan linangan air mata sambil berkata kepadaku, “Anakku, jaga diri baik-baik, dan jangan berhenti memberiku kabar. Kirimlah surat kemari hingga aku tidak merasa sepi dan merasa tenang akan kesehatanmu.”



Pesan ibu tersebut mungkin juga pesan yang sering kita dengar manakala kita hendak pergi meninggalkan ibu kita menuju perantauan. Tak bosannya dia menyampaikan pesan itu, Hari ini mungkin kita tidak lagi menghubungi ibu dengan surat, tapi dengan alat komunikasi yang lebih maju. Maka pesannya kepada kita pun menjadi berubah, “Jangan lupa menghubungi ibu setelah kamu sampai.” Atau, “Kalau bisa, tolong hubungi ibu walau cuma seminggu sekali.”



Pesan itu mungkin membosankan, atau mungkin memberatkan, karena harus rnelakukannya berulang-ulang. Tapi itulah keinginannya. Di balik permintaan itu ia ingin melepas rindunya kepada kita, walau sekadar mendengar sedetik suara atau sepotong kata. Maka jauhkan rasa berat di hati, apalagi rasa terbebani, sebab kala kita jauh darinya mungkin hanya itu bakti yang bisa kita lakukan untuk membalas jasa—jasanya yang tak terhingga.







Sekedar Ingin Membalas Kebaikan Orang Lain Kepada Kita

Ketika kita jauh di sisinya, ibu selalu menyimpan kekhawatiran yang besar terhadap keadaan kita. Meskipun kita sudah dewasa dan mampu mengatasi persoalan sendiri, tapi ibu masih saja merasa tidak tenang dengan kesendirian kita. Karena itulah orang tua kita selalu senang jika ada orang yang menolong anaknya. Bahkan ibu selalu ingin mengapresiasi kebaikan siapa saja yang dianggapnya telah memudahkan urusan hidup dan keperluan anaknya.



Cobalah sesekali kita amati obrolan-obrolan kita bersama orang tua atau ibu kita. Ketika kita bicara dengannya, ibu biasanya tidak hanya menanyakan kabar kita sendiri, tapi ada selipan pertanyaan lain: “Bagaimana kabar temanmu si Anu?”, “Bagaimana kabar ibu kostmu?”, “Tetanggamu yang dulu meminjami kamu uang, apa kabarnya?”



Pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan, bahwa orang tua kita tidak begitu mudahnya melupakan orang-orang di sekitar kita, khususnya orang yang pernah memberikan kontribusi kebaikan dalam hidup kita. Mereka adalah orang-orang yang selalu mendapatkan perhatian dari orang tua kita. Bahkan meskipun mungkin kita tidak lagi berhubungan dengan mereka, tapi ibu masih saja menanyakannya, seolah ia ingin agar kita selalu menjalin silaturahmi dengan mereka. Begitulah cara orang tua kita menghargai orang-orang yang pernah membagi kebaikannya kepada kita.



Tidak sekadar menanyakan, bahkan tak jarang ibu dengan sengaja meminta kita membawakan sesuatu yang dia usahakan sendiri. Dan inilah yang terkadang membuat kita merasa berat, merasa tidak nyaman, karena sesuatu itu kadang tidak seberapa, tidak istimewa, bahkan dalam pandangan kita sama sekali tidak menarik untuk diberikan kepada yang dituju.



Mungkin oleh-oleh yang dikirimnya hanya sekedar buah dari kebun, sehingga ada rasa malu dalam diri kita untuk membawanya atau untuk menyampaikannya. Tapi sadarilah, bahwa boleh jadi hanya sebatas itu kemampuannya, atau itulah yang dianggapnya menarik meski bertentangan dengan pandangan kita yang telah bergaul dengan banyak orang, sedang si ibu ingin mengucap terimakasih kepada mereka tidak hanya dengan kata.



Keinginan itu sebenarnya sangatlah sederhana, tapi karena tak memahaminya maka kadang kita membuatnya rumit, dan bahkan bisa jadi menoreh luka dan kekecewaan di hati ibu yang selalu tulus untuk memberi.





Sekadar Ingin Mendapatkan Perhatian

Ketika ibu telah memasuki usia tuanya, dan mendapati anak-anaknya sudah dewasa, tak ada lagi harapan besarnya kecuali bisa hidup bersama mereka dan juga cucu-cucunya, serta mendapatkan penerimaan dari mereka.Tiada kebahagiaan besar yang ia rasakan saat itu, selain mendapatkan perhatian dan cinta kasih dan mereka.



Keinginan seperti itu, seringkali muncul akibat rasa sepi yang semakin hari semakin dia rasakan. Atau karena fisik yang semakin lemah untuk sekadar mengurus dirinya sendiri. Tapi memaksakan anak-anak untuk ikut bersamanya pasti juga bukan pilihan yang tepat. Apalagi ketika mereka sudah berkeluarga dan memiliki anak-anak, tentu mereka juga punya tanggung jawab untuk mengurusi keluarga dan tinggal bersama keluarga mereka masing-masing.



Tapi kesibukan kita mengurusi keluarga dan anak-anak, tentu tidak boleh melupakan kita untuk memberikan perhatian kepada ibu. Sekecil apapun perhatian itu. Sebab seorang ibu, meskipun telah merelakan anaknya untuk hidup dengan keluarga barunya, tentu ia tidak ingin anaknya benar-benar tercerabut dari kehidupannya. Maka perhatian kita kepadanya, bagi seorang ibu adalah sebuah pembuktian bahwa ia masih merasa memiliki kita. Kita masih dekat dengannya.



Namun itulah yang dirasakan seorang ibu tua, terhadap tiga anak dan cucu-cucunya. Secara materi ibu itu tidaklah kekurangan. Sebab di kampung di mana ia tinggal, dia tergolong orang yang cukup berada. Hartanya cukup melimpah.



Suatu hari, ibu itu datang ke rumah salah seorang tetangganya dan kemudian mencurahkan isi hatinya di sana. Kepada seorang ibu sebayanya ia berkata, “Bu, saya ini sudah tua. Sudah tidak banyak keinginan.”Ibu yang juga tetangganya itu bertanya, “Lha, memang ibu ada apa?” “Saya itu senang sekali kalau melihat ada anak yang mengantarkan makanan untuk orang tuanya. Saya ingin sekali diantarkan makanan atau dibawakan oleh-oleh kalau anak-anak saya pulang dari berbelanja meski saya masih sering berbelanja sendiri dan belum terlalu tua untuk bermanja-manja sama anak-anak. Sebenarnya saya hanya ingin menikmati makanan atau apa saja dari anak-anak. Nggak penting itu mahal atau murah,” cerita si ibu dengan rona wajah yang sangat sedih.



Sungguh keinginan yang sederhana. Ya, sangat sederhana. Hanya ingin menikmati oleh-oleh atau makanan pemberian anaknya. Tak peduli semurah apapun harganya. Dia hanya ingin sebuah perhatian yang tulus. Dia hanya mengharap tegur sapa dari anak-anaknya lewat sebungkus makanan.Tapi hal itulah yang justru tak kunjung dia dapatkan dari mereka. Sehingga membawanya datang kepada tetangganya untuk mencurahkan keinginannya yang sangat sederhana itu.



Sebagai anak, seringkali keinginan itu tak kita pahami. Mungkin karena kita menganggap orang tua kita terlihat hidup berkecukupan, lantas kita berkesimpulan bahwa mereka tak begitu butuh dengan pemberian kita. Terlebih karena mereka tak pernah sekalipun bercerita kepada kita apalagi meminta. Tapi bukankah memang seorang ibu, atau orang tua pada umumnya selalu tidak ingin menyusahkan anak-anaknya? Sehingga meskipun sebenarny ia butuh namun selalu berusaha menutupi itu di hadapan kita. Meskipun sebenarnya ia ingin, tapi selalu berusaha menutupi keinginan itu.



Hal penting yang harus kita ketahui untuk memahami keinginan sederhana ini, adalah bahwa sebagian besar nafsu kebendaan orang tua itu, sedikit demi sedikit menguap seiring dengan semakin bertambahnya usia mereka. Pada saat itu, yang mereka inginkan hanyalah perhatian dan kasih sayang dari anak cucunya. Sebagai anak, sudah sepatutnya kita membahagiakan hati kedua orang tua. Dan yang harus disadari terlebih dahulu adalah, bahwa kebahagiaan itu tidak hanya dengan tercukupinya materi, tapi juga dengan memberikan perhatian-perhatian yang tulus.



Semoga kita dapat membahagiakan orang tua kita, dengan memahami dan memenuhi keinginan-keinginannya yang sederhana. Karena pada hakikatnya apapun yang kita berikan, tidak akan pernah sepadan dengan kasih sayang yang mereka curahkan untuk kita.





Wallahu ‘alam, Allahummaghfirlahum Wa’afihim wa’fuanhum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.